Minggu, 05 Agustus 2018

Beneficial Owner Dalam Perpajakan Internasional dan Domestik


Image : Beneficial Owner, Sumber : https://www.rikvin.com/blog/latest-update-on-singapores-beneficial-ownership-regime/
Beneficial Owner dalam Lingkup Pajak Internasional
Terminologi beneficial owner dikenal pertama kali dalam English Trust Law dalam hukum Inggris tersebut, beneficial owner didefinisikan sebagai pihak yang memenuhi kriteria sebagai pemilik tanpa adanya keharusan pengakuan kepemilikan dari sudut pandang hukum (legal title). Dalam sejarah OECD Model, istilah beneficial owner diperkenalkan pertama kali pada tahun 1977. Istilah beneficial owner muncul pada pasal 10 (Dividen), 11 (Bunga), dan 12 (Royalty), dalam upaya memberikan batasan yang jelas tentang pihak yang dianggap sebagai penerima fasilitas tarif pajak yang lebih rendah di negara sumber atas penghasilan deviden, bunga dan royalty. Dalam paragraph 12 OECD diberikan penegasan bahwa terminology beneficial owner tidak meliputi agen maupun nominee. Secara spesifik disebutkan bahwa fasilitas pengurangan tarif di negara sumber tidak dapat diberikan apabila dalam transaksi pembayaran penghasilan dividen, bunga, royalty tersebut terdapat pihak perantara seperti agen dan nominee, kecuali beneficial owner tersebut merupakan penduduk (resident) dari negara lain dalam perjanjian.
Konsep beneficial owner dalam P3B diterapkan terkait pembayaran dividen, bunga, dan royalti. Dalam kaitannya dengan P3B, klausul “paid to residence” tidak menjelaskan secara spesifik siapa residence yang dimaksud. Tetapi, penjelasan dalam bagian commentary pasal 10, 11, dan 12 OECD Model menyebutkan bahwa conduit companies tidak dapat dianggap sebagai beneficial owner. Dalam pasal itu juga dikatakan bahwa istilah beneficial owner tidak boleh diartikan secara sempit, tetapi harus diartikan dalam konteks tujuan dari P3B, yaitu mencegah terjadinya pemajakan berganda (double taxation) dan ketiadaan pengenaan pajak (double non taxation).
Dalam rangka pencegahan penyalahgunaan P3B, dalam OECD Model diterapkan anti avoidance rule dengan penggunaan prinsip beneficial owner pada tahun 1977 sebagaimana dikatakan oleh Du Toit yang dikutip oleh Hutagaol (2007). Dengan demikian, yang dapat menikmati treaty benefit hanyalah beneficial owner. Namun demikian, OECD Model dan Model P3B lainnya kecuali milik Amerika Serikat tidak memiliki aturan jelas mengenai syarat-syarat seseorang dapat dikatakan sebagai beneficial owner, melainkan hanya gambaran umum dari beneficial owner. Oleh karena itu, merujuk pada pasal 3 ayat (2) dari Model P3B, hal yang tidak diatur jelas dalam P3B akan dikembalikan pada peraturan domestik negara yang terikat dalam P3B.

Penyalahgunaan Manfaat P3B (Tax Treaty)
Di Indonesia, penghindaran pajak (tax avoidance) merupakan kegiatan yang legal, sedangkan penyelundupan pajak (tax evasion) dianggap suatu kegiatan yang ilegal. Namun, Rohatgi (2002) mengatakan bahwa umumnya penghindaran pajak dibedakan lagi menjadi dua, yaitu penghindaran pajak yang diperbolehkan (acceptable tax avoidance) dan penghindaran pajak yang tidak diperbolehkan (unacceptable tax avoidance). Dengan demikian, penghindaran pajak bisa saja merupakan tindakan ilegal apabila dilakukan semata-mata untuk penghindaran pajak dan tidak memiliki tujuan bisnis yang baik. Dalam hubungannya dengan P3B dan manfaat yang terkandung dalam P3B, umumnya bentuk penghindaran pajak yang dilakukan berupa treaty shopping (penggunaan manfaat P3B melalui pihak yang tidak berhak, Hutagaol,2007).

Limitation on Benefit
Pencegahan unacceptable tax avoidance melalui penyalahgunaan P3B dilakukan melalui identifikasi beneficial owner. Identifikasi beneficial owner bukanlah sesuatu yang mudah dan sering menimbulkan perbedaan pendapat. Oleh karena itu digunakan pendekatan limitation of benefit (LOB). Langkah ini mendapat banyak kritikan dan dipandang tidak praktis dan tidak realistis, tetapi klausal limitation of benefit semakin banyak digunakan dalam tax treaty karena dianggap dapat membantu menentukan beneficial owner (Koichiro, 2013).
Dalam bagian commentary, OECD menyarankan beberapa bentuk pendekatan Limitation on Benefit yang dapat diterapkan (OECD, 2010), yaitu:
  1. Look-through approach
  2. Subject to tax approach
  3. Channel Approach
  4. Bonafide Provision
Bila semua pendekatan diatas diterapkan secara langsung (literaly), terdapat resiko bahwa hal itu akan berujung pada hasil yang tidak masuk akal yang menghalangi P3B untuk dinikmati pihak yang layak mendapatkannya. Oleh karena itu, ada beberapa ketentuan yang dapat ditambahkan untuk melengkapi, seperti:
  1. Activity provision
  2. Amount tax provision
  3. Alternative relief provision
  4. Stock exchange provision
  5. Competent authority provision

sumber : http://www.mcgregorlegal.eu/the-register-of-beneficial-owners-where-are-we-going/
Aturan Terbaru Beneficial Owner
Istilah beneficial owner mulai diperkenalkan dalam lingkup Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Istilah ini dimuat dalam Pasal 26 ayat (1a) dalam Undang-Undang PPh. Adapun bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut : “Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner)”.
Istilah Beneficial Owner sebenarnya mulai diperkenalkan dalam ketentuan pajak di Indonesia di Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-04/PJ.34/2005 tanggal 7 Juli 2005 tentang Petunjuk Penetapan Kriteria “Beneficial Owner” sebagaimana tercantum dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Indonesia dengan Negara Lain. Surat Edaran ini kemudian dicabut dengan SE-03/PJ.03/2008 tanggal 22 Agustus 2008 tentang Penentuan Status Beneficial Owner sebagaimana dimaksud dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Indonesia dengan Negara Mitra.
Terakhir, ketentuan beneficial owner ini diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-10/PJ/2017 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

Mekanisme terkait Aturan Terbaru Benefitial Owner di Indonesia
1.    Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-10/PJ/2017
a.  Pasal 2 ayat (2) huruf f, disebutkan bahwa “Dikecualikan dari pemotongan dan/atau pemungutan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN, adalah penerima penghasilan merupakan beneficial owner, dalam hal dipersyaratkan dalam P3B”.
b.  Pasal 3 ayat (2), disebutkan bahwa “Dalam hal terdapat penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN tetapi tidak terdapat pajak yang dipotong dan/atau dipungut di Indonesia berdasarkan ketentuan yang diatur dalam P3B, Pemotong dan/atau Pemungut tetap harus membuat bukti pemotongan dan/atau pemungutan pajak”.
c.      Pasal 4 ayat (1), disebutkan bahwa “Pemotong dan/atau Pemungut Pajak harus menyampaikan SKD WPLN yang telah memenuhi persyaratan administratif dan tertentu lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d sebagai lampiran dalam SPT Masa untuk masa terutangnya pajak penghasilan”.
d.  Pasal 4 ayat (2), disebutkan bahwa “Dalam hal Pemotong dan/atau Pemungut Pajak tidak menyampaikan SKD WPLN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku ketentuan sebagai berikut: a) Manfaat P3B tidak diberikan kepada WPLN; dan b) Pemotong dan/atau Pemungut Pajak wajib melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang PPh”
e.    Pasal 10 ayat (1), disebutkan bahwa “WPLN memenuhi ketentuan sebagai Beneficial Owner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf f dalam hal:
a)     Bagi WPLN orang pribadi, tidak bertindak sebagai Agen atau Nominee; atau
b)  Bagi WPLN badan, tidak bertindak sebagai Agen, Nominee, atau Conduit, yang harus memenuhi ketentuan: 1) mempunyai kendali untuk menggunakan atau menikmati dana, aset, atau hak yang mendatangkan penghasilan dari Indonesia; 2) tidak lebih dari 50% penghasilan badan digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain; 3) menanggung risiko atas aset, modal atau kewajiban yang dimiliki; dan 4) tidak mempunyai kewajiban baik tertulis maupun tidak tertulis untuk meneruskan sebagian atau seluruh penghasilan yang diterima dari Indonesia kepada pihak lain.
2.    Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme
     Penyusunan perpres ini disesuaikan dengan standar internasional di bidang pencegahan tindak pidana pencucian uang. Dalam perpres tersebut menyebutkan pentingnya penerapan prinsip mengenali Beneficial Owner. Melalui perpres ini, Instansi berwenang dapat melaksanakan pertukaran informasi pemilik manfaat dengan instansi nasional dan internasional. Dalam Pasal 26 ayat (1), disebutkan dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme oleh Korporasi, instansi berwenang dapat melaksanakan kerja sama pertukaran informasi pemilik manfaat dengan instansi peminta, baik dalam lingkup nasional maupun internasional.


Contoh Beneficial Owner
Tanggal 1 Februari 2018, PT ABC membayar jasa konsultan kepada Japan Co.Ltd atas desain bangunan senilai 3.000.000 yen, Japan.Co.Ltd berdomisili di Jepang. Japan.Co.Ltd sudah menyerahkan COD tertanggal 15 Januari 2018 kepada PT ABC. Atas transaksi ini tidak terutang PPh, karena mengacu Tax Treaty antara Negara Indonesia dengan Negara Jepang, atas jasa-jasa berupa jasa management, jasa desain dan jasa-jasa lainnya selain jasa konstruksi, tidak akan dikenakan PPh bagi penerima penghasilan (WPLN) di negara sumber pemberi penghasilan.
Mekanisme dalam memanfaatkan Tax Treaty :
  1. Dokumen asli atau dokumen fotokopi COD/Form DGT-1 terbaru sesuai PER-10 Tahun 2017, yang telah dilengkapi oleh otoritas pajak WPLN, agar dilegalisasi ke Kantor Pelayanan Pajak tempat salah satu Pemotong dan/atau Pemungut Pajak terdaftar sebagai Wajib Pajak (WPDN).
  2. WPDN wajib membuat bukti potong PPh Pasal 26 nihil untuk WPLN tersebut.
  3. WPDN wajib menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 26 dengan melampirkan bukti potong penghasilan WPLN, Form DGT-1 dan/atau COD yang masih berlaku untuk periode pemotongan pajak dan yang telah di legalisasi oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat salah satu Pemotong dan/atau Pemungut Pajak terdaftar sebagai Wajib Pajak (WPDN).

Atas jasa desain makam yang dibayarkan PT ABC kepada Japan.Co.Ltd terutang Pajak Penghasilan 0% (Nol Persen) berdasarkan P3B Indonesia-Jepang. Syarat administrasi telah terpenuhi, sehingga perusahaan dapat menerima manfaat atas P3B Indonesia-Jepang



Sumber :
Sandy Setiawan
https://news.ddtc.co.id/pajak-internasional-12-beneficial-owner-7931
http://www.ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=16229&hlm=4
Hutagaol, J. (2007). Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda. Jakarta: Salemba Empat.
Rohatgi, R. (2002). Basic International Taxation. London: Kluwer Law International.
Koichiro, Y. (2013). Clarifying the Meaning of ‘Beneficial Owner’ in Tax Treaties. New York: Tax Analyst.
http://merrydewiputri.com/2017/12/07/implementasi-tarif-tax-treaty-berdasarkan-per-10-tahun-2017/