Beneficial Owner Dalam Perpajakan Internasional dan Domestik
Image : Beneficial Owner, Sumber : https://www.rikvin.com/blog/latest-update-on-singapores-beneficial-ownership-regime/ |
Beneficial
Owner dalam Lingkup
Pajak Internasional
Terminologi beneficial owner
dikenal pertama kali dalam English Trust
Law dalam hukum Inggris tersebut, beneficial
owner didefinisikan sebagai pihak yang memenuhi kriteria sebagai pemilik
tanpa adanya keharusan pengakuan kepemilikan dari sudut pandang hukum (legal title). Dalam sejarah OECD Model,
istilah beneficial owner
diperkenalkan pertama kali pada tahun 1977. Istilah beneficial owner muncul pada pasal 10 (Dividen), 11 (Bunga), dan 12
(Royalty), dalam upaya memberikan batasan yang jelas tentang pihak yang
dianggap sebagai penerima fasilitas tarif pajak yang lebih rendah di negara
sumber atas penghasilan deviden, bunga dan royalty. Dalam paragraph 12 OECD
diberikan penegasan bahwa terminology beneficial
owner tidak meliputi agen maupun nominee. Secara spesifik disebutkan
bahwa fasilitas pengurangan tarif di negara sumber tidak dapat diberikan
apabila dalam transaksi pembayaran penghasilan dividen, bunga, royalty tersebut
terdapat pihak perantara seperti agen dan
nominee, kecuali beneficial owner tersebut merupakan penduduk (resident) dari negara lain dalam perjanjian.
Konsep beneficial owner dalam P3B
diterapkan terkait pembayaran dividen, bunga, dan royalti. Dalam kaitannya
dengan P3B, klausul “paid to residence”
tidak menjelaskan secara spesifik siapa residence
yang dimaksud. Tetapi, penjelasan dalam bagian commentary pasal 10, 11, dan 12 OECD Model menyebutkan bahwa conduit companies tidak dapat dianggap
sebagai beneficial owner. Dalam pasal
itu juga dikatakan bahwa istilah beneficial
owner tidak boleh diartikan secara sempit, tetapi harus diartikan dalam
konteks tujuan dari P3B, yaitu mencegah terjadinya pemajakan berganda (double taxation) dan ketiadaan
pengenaan pajak (double non taxation).
Dalam rangka pencegahan penyalahgunaan P3B, dalam OECD Model diterapkan anti avoidance rule dengan penggunaan
prinsip beneficial owner pada tahun
1977 sebagaimana dikatakan oleh Du Toit yang dikutip oleh Hutagaol (2007).
Dengan demikian, yang dapat menikmati treaty
benefit hanyalah beneficial owner.
Namun demikian, OECD Model dan Model P3B lainnya kecuali milik Amerika Serikat
tidak memiliki aturan jelas mengenai syarat-syarat seseorang dapat dikatakan
sebagai beneficial owner, melainkan
hanya gambaran umum dari beneficial owner.
Oleh karena itu, merujuk pada pasal 3 ayat (2) dari Model P3B, hal yang tidak
diatur jelas dalam P3B akan dikembalikan pada peraturan domestik negara yang
terikat dalam P3B.
Penyalahgunaan Manfaat P3B (Tax Treaty)
Di Indonesia, penghindaran pajak (tax
avoidance) merupakan kegiatan yang legal, sedangkan penyelundupan pajak (tax evasion) dianggap suatu kegiatan
yang ilegal. Namun, Rohatgi (2002) mengatakan bahwa umumnya penghindaran pajak
dibedakan lagi menjadi dua, yaitu penghindaran pajak yang diperbolehkan (acceptable tax avoidance) dan
penghindaran pajak yang tidak diperbolehkan (unacceptable
tax avoidance). Dengan demikian, penghindaran pajak bisa saja merupakan
tindakan ilegal apabila dilakukan semata-mata untuk penghindaran pajak dan
tidak memiliki tujuan bisnis yang baik. Dalam hubungannya dengan P3B dan
manfaat yang terkandung dalam P3B, umumnya bentuk penghindaran pajak yang
dilakukan berupa treaty shopping
(penggunaan manfaat P3B melalui pihak yang tidak berhak, Hutagaol,2007).
Limitation
on Benefit
Pencegahan unacceptable tax avoidance
melalui penyalahgunaan P3B dilakukan melalui identifikasi beneficial owner. Identifikasi beneficial
owner bukanlah sesuatu yang mudah dan sering menimbulkan perbedaan
pendapat. Oleh karena itu digunakan pendekatan limitation of benefit
(LOB). Langkah ini mendapat banyak kritikan dan dipandang tidak praktis dan
tidak realistis, tetapi klausal
limitation of benefit semakin banyak digunakan dalam tax treaty karena dianggap dapat membantu menentukan beneficial owner (Koichiro, 2013).
Dalam bagian commentary, OECD
menyarankan beberapa bentuk pendekatan Limitation
on Benefit yang dapat diterapkan (OECD, 2010), yaitu:
- Look-through approach
- Subject to tax approach
- Channel Approach
- Bonafide Provision
Bila semua pendekatan diatas diterapkan secara langsung (literaly), terdapat resiko bahwa hal
itu akan berujung pada hasil yang tidak masuk akal yang menghalangi P3B untuk
dinikmati pihak yang layak mendapatkannya. Oleh karena itu, ada beberapa
ketentuan yang dapat ditambahkan untuk melengkapi, seperti:
- Activity provision
- Amount tax provision
- Alternative relief provision
- Stock exchange provision
- Competent authority
provision
sumber : http://www.mcgregorlegal.eu/the-register-of-beneficial-owners-where-are-we-going/ |
Aturan
Terbaru Beneficial Owner
Istilah beneficial owner mulai diperkenalkan
dalam lingkup Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Istilah ini dimuat dalam Pasal
26 ayat (1a) dalam Undang-Undang PPh. Adapun bunyi lengkapnya adalah sebagai
berikut : “Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah negara tempat tinggal atau tempat
kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari
penghasilan tersebut (beneficial owner)”.
Istilah Beneficial Owner sebenarnya mulai
diperkenalkan dalam ketentuan pajak di Indonesia di Surat Edaran Dirjen Pajak
Nomor SE-04/PJ.34/2005 tanggal 7 Juli 2005 tentang Petunjuk Penetapan Kriteria
“Beneficial Owner” sebagaimana tercantum
dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Indonesia dengan Negara
Lain. Surat Edaran ini kemudian dicabut dengan SE-03/PJ.03/2008 tanggal 22
Agustus 2008 tentang Penentuan Status Beneficial
Owner sebagaimana dimaksud dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara
Indonesia dengan Negara Mitra.
Terakhir, ketentuan beneficial owner ini diatur dalam
Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-10/PJ/2017 tentang Tata Cara Penerapan
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dan Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik
Manfaat Dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Mekanisme
terkait Aturan Terbaru Benefitial Owner
di Indonesia
1.
Peraturan
Dirjen Pajak Nomor PER-10/PJ/2017
a. Pasal
2 ayat (2) huruf f, disebutkan bahwa “Dikecualikan dari pemotongan dan/atau
pemungutan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN, adalah
penerima penghasilan merupakan beneficial
owner, dalam hal dipersyaratkan dalam P3B”.
b. Pasal
3 ayat (2), disebutkan bahwa “Dalam hal terdapat penghasilan yang diterima atau
diperoleh WPLN tetapi tidak terdapat pajak yang dipotong dan/atau dipungut di
Indonesia berdasarkan ketentuan yang diatur dalam P3B, Pemotong dan/atau
Pemungut tetap harus membuat bukti pemotongan dan/atau pemungutan pajak”.
c. Pasal
4 ayat (1), disebutkan bahwa “Pemotong dan/atau Pemungut Pajak harus
menyampaikan SKD WPLN yang telah memenuhi persyaratan administratif dan
tertentu lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d sebagai
lampiran dalam SPT Masa untuk masa terutangnya pajak penghasilan”.
d. Pasal
4 ayat (2), disebutkan bahwa “Dalam hal Pemotong dan/atau Pemungut Pajak tidak
menyampaikan SKD WPLN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku ketentuan
sebagai berikut: a) Manfaat P3B tidak diberikan kepada WPLN; dan b) Pemotong
dan/atau Pemungut Pajak wajib melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak
yang terutang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang PPh”
e. Pasal
10 ayat (1), disebutkan bahwa “WPLN memenuhi ketentuan sebagai Beneficial Owner sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) huruf f dalam hal:
a) Bagi
WPLN orang pribadi, tidak bertindak sebagai Agen atau Nominee; atau
b) Bagi
WPLN badan, tidak bertindak sebagai Agen, Nominee, atau Conduit, yang harus
memenuhi ketentuan: 1) mempunyai kendali untuk menggunakan atau menikmati dana,
aset, atau hak yang mendatangkan penghasilan dari Indonesia; 2) tidak lebih
dari 50% penghasilan badan digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak
lain; 3) menanggung risiko atas aset, modal atau kewajiban yang dimiliki; dan
4) tidak mempunyai kewajiban baik tertulis maupun tidak tertulis untuk
meneruskan sebagian atau seluruh penghasilan yang diterima dari Indonesia
kepada pihak lain.
2.
Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip
Mengenali Pemilik Manfaat Dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan
Terorisme
Penyusunan perpres ini disesuaikan dengan
standar internasional di bidang pencegahan tindak pidana pencucian uang. Dalam
perpres tersebut menyebutkan pentingnya penerapan prinsip mengenali Beneficial Owner. Melalui perpres ini, Instansi
berwenang dapat melaksanakan pertukaran informasi pemilik manfaat dengan
instansi nasional dan internasional. Dalam Pasal 26 ayat (1), disebutkan dalam
rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak
pidana pendanaan terorisme oleh Korporasi, instansi berwenang dapat
melaksanakan kerja sama pertukaran informasi pemilik manfaat dengan instansi
peminta, baik dalam lingkup nasional maupun internasional.
Contoh Beneficial Owner
Tanggal 1 Februari 2018, PT
ABC membayar jasa konsultan kepada Japan
Co.Ltd atas desain bangunan senilai 3.000.000 yen, Japan.Co.Ltd berdomisili
di Jepang. Japan.Co.Ltd sudah menyerahkan COD tertanggal 15 Januari 2018 kepada PT ABC. Atas transaksi ini tidak terutang PPh,
karena mengacu Tax Treaty antara
Negara Indonesia dengan Negara Jepang, atas jasa-jasa berupa jasa management,
jasa desain dan jasa-jasa lainnya selain jasa konstruksi, tidak akan dikenakan
PPh bagi penerima penghasilan (WPLN) di negara sumber pemberi penghasilan.
Mekanisme
dalam memanfaatkan Tax Treaty :
- Dokumen asli atau dokumen fotokopi COD/Form DGT-1 terbaru sesuai PER-10 Tahun 2017, yang telah dilengkapi oleh otoritas pajak WPLN, agar dilegalisasi ke Kantor Pelayanan Pajak tempat salah satu Pemotong dan/atau Pemungut Pajak terdaftar sebagai Wajib Pajak (WPDN).
- WPDN wajib membuat bukti potong PPh Pasal 26 nihil untuk WPLN tersebut.
- WPDN wajib menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 26 dengan melampirkan bukti potong penghasilan WPLN, Form DGT-1 dan/atau COD yang masih berlaku untuk periode pemotongan pajak dan yang telah di legalisasi oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat salah satu Pemotong dan/atau Pemungut Pajak terdaftar sebagai Wajib Pajak (WPDN).
Atas jasa desain makam yang dibayarkan PT ABC kepada Japan.Co.Ltd terutang Pajak Penghasilan 0% (Nol Persen) berdasarkan P3B Indonesia-Jepang. Syarat administrasi telah terpenuhi, sehingga perusahaan dapat menerima manfaat atas P3B Indonesia-Jepang.
Sumber :
Sandy Setiawan
https://news.ddtc.co.id/pajak-internasional-12-beneficial-owner-7931
http://www.ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=16229&hlm=4
Hutagaol, J. (2007). Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda. Jakarta: Salemba Empat.
Rohatgi, R. (2002). Basic International Taxation. London: Kluwer Law International.
Koichiro, Y. (2013). Clarifying the Meaning of ‘Beneficial Owner’ in Tax Treaties. New York: Tax Analyst.
http://merrydewiputri.com/2017/12/07/implementasi-tarif-tax-treaty-berdasarkan-per-10-tahun-2017/